Friday, March 18, 2011

Jangan Pernah Mau Jadi Pecundang (Sebuah Cerita Yang Menambah Keimanan Kita)

“Entah termasuk nasib buruk atau nasib baik, aku tidak mempermasalahkan. Atau jangan-jangan ini adalah takdir untuk menguji kedalaman pengetahuanku tentang keyakinan (agama) yang kuanut. Dalam waktu yang berurutan aku bertemu dengan 3 orang yang membuatku harus menanggapi pendapat atau ajakannya.

Pertemuan Pertama. Nothing to lose.

Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Mr. Venus (bukan nama sebenarnya). Dia adalah orang Amrik, kukenal sebagai seorang guru (native speaker) pada lembaga sebuah kursus bahasa Inggris. Dengan modal Ingris yang pas-pasan aku memberanikan diri ngobrol dengannya. Ngobrol tentang apa saja, walau kadang agak tersendat karena modal vocabulary- ku yang tidak sebanyak ia punya. Sampai suatu saat aku ngobrol tentang keyakinan.

Dengan tegas ia menyatakan bahwa ia adalah seorang Atheis. Tidak percaya adanya Tuhan. (Sebelumnya ia pernah berkata bahwa di Amerika, pembicaraan yang menyangkut privacy, seperti keyakinan, agama dan aliran politik sangat ditabukan). Saat kudesak, dengan pertanyaan , lantas siapa yang menciptakan anda? (rasain pikirku)

Jawabannya diluar dugaanku, asal mula kehidupan adalah Big Bang. Bicaralah dia tentang terbentuknya alam berikut isinya . . . . bla…bla…bla. Yang menyakitkan, dia bilang orang ber Tuhan itu cengeng, jika gagal akan meminta kepada Tuhan untuk kesuksesannya. Sedangkan dia tidak, jika gagal, introspeksi.

Jujur, pengetahuanku tentang agama yang kuanut pas-pasan, membuatku tidak berkutik akan jawabannya. Kalaupun aku akan menyetir ayat ataupun hadist sesuai agama yang kuanut, pastilah dia akan mencibir dan menuduhku sepihak alias tidak fair. Jadilah aku terdiam untuk beberapa saat. Tapi jangan dikira aku terdiam karena terpojok, aku terdiam untuk berpikir.

Aha inilah jawaban yang kusampaikan padanya.

Dengan tegas kukatakan, aku percaya akan adanya Tuhan. Kalau seandainya dikemudian hari (akhirat, maksudku) ternyata Tuhan tidak ada, aku tidak akan rugi dan tidak mendapatkan sanksi apapun. Tetapi jika ternyata Tuhan memang ada, aku selamat dan tidak mendapatkan sanksi. Sebaliknya anda (Mr.Venus), jika dikemudian hari ternyata Tuhan tidak ada, memang, anda tidak akan mendapatkan sanksi, tetapi jika ternyata Tuhan itu ada, anda akan mendapatkan sanksi.

Jadi buatku, nothing to lose.

Mr. Venus terdiam, entah dia sependapat dengan ucapanku atau tidak. Yang jelas pertemuan berikutnya kami tidak membicarakan hal itu lagi. Dan diapun tidak pernah menyinggung hal yang sama.

Pertemuan kedua. Hanya satu kata.

Dalam suatu lokakarya aku berkenalan dengan seseorang, sebut saja mas Uranus. Walau baru kenal, aku langsung akrab, mungkin karena kami berasal dari daerah yang sama, kuliah di universitas yang sama (walau beda tahun kuliah). Nggak ada hujan nggak ada angin, mas Uranus mengajakku berdiskusi tentang keyakinan. Keyakinan yang dianut mas Uranus adalah mirip dengan keyakinan yang kuanut. Perbedaan yang mencolok pada persoalan nabi. Menurut keyakinannya, setelah Nabi Muhammad SAW, ada nabi lagi yakni nabinya, Merza Ghulam Ahmad. Bahkan ia berteori setiap 100 tahun akan muncul nabi baru.

Banyak hal yang ia sampaikan, tapi satu hal yang kuingat. Dalam Al Qur’an ada statement yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir (khatamman nabiyun). Mendengar hal itu aku sependapat. Bukan mas Uranus kalau berhenti disitu, rupanya mas Uranus memelintirnya menjadi suatu analogi.

Katanya: ”Ibarat membaca Al Qur’an sampai khatam, apakah lantas kamu tidak membaca Al Qur’an lagi?”.

Lagi-lagi, keterbatasanku dalam pengetahuan agama, membuatku terdiam. Ingin rasanya aku menyetir Hadist ataupun ayat-ayat Al Qur’an, tetapi apa daya aku tidak hafal. Lagian, dari omongannya yang lancar, aku yakin dia lebih banyak hafal hadist dan ayat Al Qur’an dibanding aku. Tapi ya sudah, yang penting aku tidak boleh kalah menghadapinya.

”Gimana mas, ada pendapat lain” tiba-tiba mas Uranus menyerbuku lagi dengan kata-kata, membuat buyar pengembaraan pikiranku.

”Begini mas, aku mau jawab yang simpel-simpel saja” ucapku

”Apa itu mas?’

Aku masih terdiam, belum menanggapi kata-kata terakhirnya. Dalam kediamanku, tiba-tiba aku teringat seorang Ustadz pernah berkata (dan aku mengamininya), bahwa Nabi asli memiliki ciri-ciri yang mudah dihafal.

”Apa lagi mas?”

”Konon, nama nabi hanya terdiri dari satu kata. Tengoklah mulai dari Nabi Adam AS , Ayub AS, Ibrahim AS, Ismail AS, Ishak AS, Musa AS, Sulaeman AS, Yusuf AS, dan sebagainya, sampai kepada Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW”.

Mendengar hal itu mas Uranus, terdiam. Mungkin dalam hatinya sedang berhitung, Merza satu, Ghulam dua, Ahmad tiga. Esoknya dia tidak menyinggung-nyinggung lagi hal itu.

Pertemuan ketiga. Jumlah Raka’at.

Kali ini adalah pertemuan dengan kakak iparku. Sebut saja mas Jupiter. Tidak tanggung-tanggung, sejak pensiun dari perusahaan consumer goods ternama, kakak iparku menyepi dan mendirikan dan mendirikan padepokan di suatu kota kecil di Jawa Tengah. Ia meneruskan ajaran gurunya, mengajarkan suatu aliran. Seluruh pengikutnya (tidak banyak sih), mengikuti ajarannya.

Lama kami tidak saling bertemu, sekali bertemu eee dia malah berkhotbah. Intinya ingin mengajakku ikut pada alirannya

Inti ajarannya adalah tidak percaya kepada Hadist, menurut klaim mereka, mereka ingin mengamalkan Al Qur’an secara murni dan konsekwen. Persetan dengan hadist. Belakangan aku mendengar jika aliran itu disebut inkar sunnah.

Sebagai adik mungkin dimatanya aku dianggap sebagai sasaran empuk, apalagi aku bekerja di suatu institusi yang berlabel syariah. Semalam suntuk aku diindoktrinasi.

Lagi-lagi keterbatasan pengetahuan agama membuatku tidak dapat meng-kick balik. Mau ngomong apa, aku bingung. Jadilah aku seperti kerbau yang dicokok hidungnya. Untunglah, lamat-lamat terdengar adzan subuh. Aha, aku punya ide.

Sembari berkemas untuk sholat shubuh, aku mencoba mengakhiri pembicaraan.

”Mas, kalau saja mas dapat menunjukkan padaku ayat Al Qur’an yang menyebutkan sholat shubuh 2 rakaat, dhuhur 4 raka’at, ashar 4 raka’at dan seterusnya, aku akan ikuti ajaran mas. Tapi sebaliknya jika tidak ada, tolong jangan ganggu aku”.

Gubrak, kakak iparku terperangah akan jawabanku. Tetapi bukan kakak iparku kalau tidak ngeyel. Tetap aja bla…..bla….bla, nerocos. Tapi kali ini tak kutanggapi.

Pesan moral, keterbatasan pengetahuan agama, jangan membuat anda jadi pecundang. Gunakan akal dan mintalah petunjuk Allah SWT, insyaAllah akan jadi pemenang, setidak-tidaknya anda bukan pecundang.”

Hmm sungguh pengalaman yang menakjubkan ckckckckck

Anda sedang membaca artikel tentang Jangan Pernah Mau Jadi Pecundang (Sebuah Cerita Yang Menambah Keimanan Kita) dan anda bisa menemukan artikel Jangan Pernah Mau Jadi Pecundang (Sebuah Cerita Yang Menambah Keimanan Kita) ini dengan url http://satriaikhlas.blogspot.com/2011/03/jangan-pernah-mau-jadi-pecundang-sebuah.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Jangan Pernah Mau Jadi Pecundang (Sebuah Cerita Yang Menambah Keimanan Kita) ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Jangan Pernah Mau Jadi Pecundang (Sebuah Cerita Yang Menambah Keimanan Kita) sumbernya.

0 comments:

 

Insan Kamil © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme Blogger Templates